Senin, 12 September 2011

Pedagang Tolak Swastanisasi Pasar Tradisional di Bekasi

Pedagang di pasar tradisional Kranji, Kota Bekasi. TEMPO/Hamluddin
TEMPO Interaktif, Bekasi--Pedagang pasar tradisional di Kota Bekasi, Jawa Barat, menolak rencana pemerintah daerah melakukan swastanisasi pasar dengan alasan kumuh.

Berita terkait


<a href='http://openx2.tempointeraktif.com/www/delivery/ck.php?n=a6f00733&cb=' target='_blank'><img src='http://openx2.tempointeraktif.com/www/delivery/avw.php?zoneid=400&cb=&n=a6f00733' border='0' alt='' /></a>
Seorang pedagang pasar Kranji, Sukini, mengaku tetap memilih lapak seluas 4,5 meter yang dia tempati berjualan ayam sejak 20 tahun lalu. "Kalau dibangun baru berarti kami harus membeli lapak lagi yang harganya lebih mahal," kata wanita berusia 55 tahun itu kepada Tempo, Kamis 26 Mei 2011.

Lapak yang dia tempati berjualan seperti sudah menjadi miliknya sendiri. Sukini mengaku hanya membayar retribusi harian Rp 5 ribu per pedagang.

Meski tidak sebagus pasar modern, ayam dagangannya tetap ramai dibeli orang. "Sehari bisa terjual 50 ekor ayam dengan harga Rp 25 ribu per ekor," katanya.

Pelaksana tugas Dinas Perekonomian Rakyat Abudin HR. mengatakan swastanisasi pasar sulit karena sejumlah pedagang masih memiliki hak guna pakai bangunan. "Seperti di pasar Jatiasih, ada yang memiliki hak hingga 2017 mendatang," kata Abudin kepada wartawan, Kamis 26 Mei 2011.

Selain pasar Jatiasih, pasar tradisional yang masuk klasifikasi kumuh adalah pasar Bantargebang, Kranji, dan pasar Bintara, Bekasi Barat.

Kumuh dalam penilaian pemerintah daerah, banyak sampah berceceran di dalam pasar, tergenang air, dan bangunan tempat berjualan banyak yang rusak atau tidak layak pakai.
Selain itu, pasar tersebut tidak memiliki tempat bongkar muat khusus barang dagangan.

Menurut Abudin, pasar tersebut harus diberikan kepada swasta jika ingin pengelolaannya lebih baik. Seperti empat pasar yang telah diswastakan, di antaranya, Pasar Telukbuyung, Pertokoan Kranji, pasar Kranggan, dan Atrium Pondok Gede. Adapun dua pasar sedang dalam proses, yaitu, Pasar Baru, dan pertokoan Bekasi atau Bekasi Junction

http://www.tempo.co/hg/tata_kota/2011/05/26/brk,20110526-336950,id.html

Pasar Tradisional Teluk Kunatan

Pasar Tradisional Teluk Kuantan ini persis berada dipusat Kota Teluk Kuantan, Keberadaan pasar tradisional ini dijadikan sebagai tempat berinteraksi dan komunikasi antar masyarakat dan juga diharapkan keberadaan Pasar Tradisional Teluk Kuantan ini mampu memenuhi kebutuhan pokok warga, serta menjadi alternatif untuk tumbuh kembangnya perekonomian masyarakat Teluk Kuantan Kabupaten Kuantan Singingi

Traditional Markets Teluk Kuantan is in the center of the City Teluk Kuantan, The existence of these traditional markets serve as a place of interaction and communication between the community and also expected the presence of Traditional Markets Teluk Kuantan is able to meet the basic needs of citizens, as well as being an alternative to growth community economy Teluk Kuantan  Regency Kuantan Singingi

http://www.riaudailyphoto.com/2010/11/pasar-tradisional-taluk-kuantan.html

Pasar Tradisional Kembali Normal

KOMPAS/RIZA FATHONI Pasar Tradsional Stagnan Pedagang menata sayuran di salah satu los Pasar Tebet Barat, Jakarta, Selasa (16/3/2010).
SIDOARJO, KOMPAS.com — Setelah sempat lengang beberapa hari pasca-lebaran, kondisi pasar tradisional di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, mulai kembali normal. Hampir seluruh pedagang kembali aktif. Pasokan barang sudah optimal, kecuali ikan.
Seperti di Pasar Larangan yang merupakan pasar terbesar di Sidoarjo, Kamis (8/9/2011), seluruh kios sudah kembali buka. Gang-gang mulai dijubeli pedagang kecil.
Hal serupa juga terjadi di Pasar Kauman di belakang Matahari, pusat Kota Sidoarjo. Pasar itu kembali ramai. Bahkan, pedagang musiman membuat areal baru.
”Seperti biasanya, pedagang asal Madura sudah aktif lagi setelah Lebaran Ketupat yang jatuh pada hari H+7 Lebaran,” ujar Latifah, pedagang di Pasar Larangan asal Madura. Pedagang di pasar ini sekitar 75 persen berasal dari Madura.
Pasokan barang, seperti sayur mayur, telur, daging ayam, kacang-kacangan, dan kebutuhan rumah tangga lain sudah mulai normal. Beberapa hari pasca-Lebaran, pasokan barang kebutuhan pokok sempat berkurang karena petani dan sopir pengangkut barang juga sibuk dengan Lebaran.
Bukan hanya pasar tradisional yang kembali normal. Pedagang sayur keliling yang sempat libur Lebaran beberapa hari juga mulai aktif menjajakan dagangannya berkeliling kompleks perumahan.

http://regional.kompas.com/read/2011/09/08/10382840/Pasar.Tradisional.Kembali.Normal

Belanja di Pasar Tradisional

Tidak lama setelah pindah rumah, saya menemukan sebuah pasar tradisional yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah saya, lalu saya coba-coba belanja ke sana. Sekarang setiap minggu saya belanja kebutuhan seperti sayuran dan buah-buahan ke pasar.
Jujur sebelumnya saya hampir tidak pernah belanja di pasar tradisional, selalu belanja di supermarket dengan alasan di supermarket jauh lebih nyaman tempatnya, pasar tradisional becek dan bau, lalu harga juga tidak beda jauh dengan di pasar. Nah, pasar yang saya datangi itu letaknya di sepanjang jalan, jadi tidak becek, sehingga awalnya saya mau ke sana :)
Dan saya pun terkejut, apalagi istri, ternyata di pasar harga jauh lebih murah daripada di supermarket! Sudah murah, masih bisa nego alias ditawar lagi :thumb1: Bandingkan dengan supermarket yang harganya sudah harga banderol dan tidak ada tawar menawar, eh.. lebih mahal pula! :waiting: Selama ini anggapan saya salah ternyata..
Saya juga suka diberi bonus oleh ibu penjual di pasar yang sudah jadi langganan saya. Waktu beli kacang merah, dia tambahkan tomat gratis karena si ibu penjual bilang kalau bikin sayur kacang merah biasa pakai tomat. Wah.. di supermarket mana ada kaya begini? :laughloud:
Untuk kenyamanan memang sudah pasti supermarket lebih nyaman, dengan trolley-nya sehingga kita tidak perlu capek bawa barang belanjaan yang berat, ruangan sejuk ber-AC, tempat parkir yang juga lebih nyaman dan sebagainya. Soal pasar tradisional becek dan bau, itu tergantung pasarnya. Memang masih ada pasar tradisional yang seperti itu, apalagi kalau habis hujan deras. Para pengelola pasar tradisional perlu untuk lebih meningkatkan aspek kebersihan dan kenyamanan. Tapi untuk masalah harga dan kekeluargaan, pasar tradisional jelas jauh lebih unggul.

http://www.jimmysun.net/personal/belanja-di-pasar-tradisional

Pasar Tradisional Lebih Dikenal

Semakin banyaknya swalayan dan mini market yang berdiri ditiap kecamatan, ternyata tidak membuat surut peminat pasar tradisional. Saya mencoba melirik isi swalayan dan market tersebut, ternyata bukan hanya menawarkan produk kaleng dan bungkusan, swalayan juga menyuguhkan produk segar seperti sayur dan daging. Dan terus berdiri disetiap kecamatan yang kini jumlahnya sudah melebihi pasar tradisional yang ada.
pasar tradisional, pasar murah, pasar minggu
Pasar tradisional menjajakan serba murah
Pasar minggu, yang lebih dikenal masyarakat kita sebagai pasar murah yang menyuguhkan jajanan pasar beraneka ragam. Mulai dari jajanan home industri hingga produk pabrikan juga tersedia. Menghadapi era modrenisasi pasar, pedagang sepertinya tak perlu khawatir dengan semakin banyaknya swalayan dan market yang berdiri. Bisa dilihat bahwa kebutuhan dan kebiasaan berbelanja di pasar minggu ataupun pasar tradisional sudah melekat dan sulit tergantikan.
Swalayan Dan Penjualan Online
Mari sejenak kita perhatikan, siapa saja pasar yang bisa ditarik swalayan dan penjualan online. Oh ya, sudah pasti mereka kalangan pelajar, mahasiswa, dan wanita karir. Kenapa harus swalayan dan penjualan online yang menjadi favorit mereka, disamping lebih praktis dan tak memakan waktu banyak? Mungkin mereka tak mau susah payah dengan lumpur dan bau yang menjadi ciri khas pasar tradisional.
Inilah modrenisasi pasar, harus diakui bahwa swalayan dan penjualan online telah menarik banyak peminat dikalangan pembeli usia muda yang akan menjadi cikal bakal pasar masa depan. Apakah pasar tradisional yang merupakan pasar murah akan tergusur? Saya rasa tidak, pasar tradisional tetap akan berdiri karenal lebih lengkap dan dikenal sebagai pasar murah. Siapa yang tak ingin pasar murah dan produk segar, daya beli itu tetap terus bergerak dengan permintaan yang kini semakin bertambah.

http://kaget.net/2011/03/pasar-tradisional-lebih-dikenal/

Pasar Tradisional Lima atau Enam Tahun Lagi Hilang

Sukoharjo, CyberNews. Penataan yang tidak cermat oleh pemerintah daerah akan berdampak terhadap keberadaan pasar tradisional. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Syarif Hasan justru memperkirakan, keberadaan pasar tradisional di Indonesia hanya akan bertahan selama lima hingga enam tahun ke depan.
Pihaknya mengaku, sebenarnya Kementerian Koperasi dan UKM sudah mengeluarkan regulasi untuk mengatur pasar tradisional dan pasar modern. Tapi karena adanya otonomi, penataan di tiap daerah sering mislokasi atau tidak tepat, pasar-pasar itu justru berdampingan. "Dengan kondisi ini, lima hingga enam tahun lagi kemungkinan sudah tak ada lagi pasar tradisional," kata dia.
Di sela-sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Majelis Ekonomi Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Auditorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) di Sukoharjo, Minggu (15/5), dia mengatakan, selain faktor penataan, keberadaan pasar tradisional juga terancam dengan maraknya mini market dan super market di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut dia, kenyamanan berbelanja di pasar modern yang ditawarkan ikut mendorong masyarakat beralih dari pasar-pasar tradisional ke pasar modern. "Mini market, super market, dan hiper market sekarang sudah menjadi sesuatu yang umum akibat pertumbuhan ekonomi,” kata politisi Partai Demokrat itu.
Dalam paparannya, Direktur Pengembangan Usaha Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (LPDB-KUMKM) Kementerian Negara Koperasi – UKM, Ir Sutopo mengatakan, pelaku ekonomi di Indonesia terbagi dalam empat kelompok. Yakni, kelompok usaha besar, menengah, kecil, dan mikro.
Dari kelompok itu, usaha mikro memberi kontribusi yang paling besar, yakni 98,9 persen. Kelompok usaha besar, menengah, kecil, dan mikro, masing-masing hanya memberi kontribusi 0,01 persen, 0,08 persen, dan 1,01 persen. "Setidaknya, sekitar 96 juta tenaga kerja terserap oleh sektor usaha mikro, kecil, dan menengah," kata dia mengutip data BPS.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/05/15/85724/Menkop-Pasar-Tradisional-Lima-atau-Enam-Tahun-Lagi-Hilang

Pemerintah Daerah dan Pasar Tradisional

Jakarta - Di hampir setiap sudut Kota Jakarta kini sudah berdiri mal, plaza, atau pusat belanja (trade center). Orang menyebut dengan istilah hypermarket.

Seperti juga pembangunan jalan kehadiran pusat-pusat belanja kelas mewah seperti itu pun juga senantiasa bersifat insentif.
Dalam arti kehadiran mal dan hypermarket akan mendorong meningkatnya aktivitas ekonomi publik.

Pada satu bagian ada kelompok yang secara aktif memanfaatkan fasilitas mal untuk kegiatan ekonomi. Sementara pada bagian lain juga mendorong supply and demand menguatnya gejala konsumerisme masyarakat. Ada proses tawar menawar di dalamnya sehingga hukum mencapai keseimbangannya.

Dari sisi kepentingan ekonomi kian menjamurnya mal dan hypermarket mendorong terciptanya peluang bekerja bagi banyak orang. Mulai dari jasa tenaga satuan pengamanan, penjaga toko, pengantar barang, cleaning service, hingga jasa transportasi. Ini berarti sejumlah penganggur bisa terentaskan dari keterpurukan nasibnya. Dengan kata lain kehadiran mal dan hypermarket memberi sejumlah manfaat.

Persoalannya kegiatan ekonomi selalu saja memiliki dampak positif dan negatif. Dalam konteks inilah kehadiran mal-mal di Jakarta sering kali mengundang reaksi negatif dari sejumlah kalangan. Beberapa hal yang kerap kali terungkap dalam nada protes masyarakat adalah kekhawatiran akan tergusurnya kegiatan ekonomi rakyat yang bergerak di pasar-pasar tradisional maupun ritel berskala kecil.

Yang dianggap sebagai ancaman bukan hanya pedagang grosir, supermarket, atau pun hypermarket. Melainkan juga minimarket yang dikelola oleh pengusaha besar. Konglomerasi ritel yang bermunculan di kawasan permukiman di Jakarta dinilai telah menghancurkan warung-warung atau toko-toko tradisional yang menjadi tumpuan hidup pedagang kecil. Banyak pedagang kecil mengeluh usaha mereka tutup atau omzet turun secara signifikan setelah muncul minimarket yang dimiliki pemodal besar.

Berita detik.com (Sabtu, 14/03/2009) berjudul "Pasar Tradisional Kian Susah Saingi Pasar Moderen" menguatkan hal tersebut. Menurut berita tersebut pasar-pasar tradisional mulai ditinggalkan para pembelinya yang mulai bergeser ke pasar modern karena harga di pasar modern yang lebih murah dibanding harga di pasar tradisional.

Larinya konsumen dari pasar tradisional ke pasar modern sebenarnya telah terjadi sejak lama. Pada bulan Mei 2004 misalnya. Beberapa media massa di Ibu Kota menulis "Tujuh Pasar Tradisional Ditutup". Alasan penutupan ini menurut pengelola PD Pasar Jaya adalah untuk efisiensi. Karena, pasar-pasar tersebut telah kehilangan pembeli.

Dengan ditutupnya beberapa pasar tradisional di Jakarta dianggap telah menyebabkan para pedagang kecil makin termarjinalkan. Para pengamat menilai bahwa para pedagang kecil makin sulit berlabuh. Kalah oleh kompetisi dagang yang kian lama kian ketat.

Nasib mereka serupa dengan para pedagang kaki lima yang tampak terengah-engah meraup rezeki di Jakarta. Jadilah Ibu Kota mewujud dalam bentuknya yang tidak manusiawi dan tidak ramah untuk orang kecil.

Selanjutnya kecaman yang sering muncul adalah anggapan bahwa kebijakan pemerintah daerah tidak "pro rakyat". Banyak pedagang dan pengusaha kecil mengeluhkan hal serupa. Meskipun pemerintah daerah mungkin telah berusaha menjaga dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan usaha kecil dan menengah (UKM). Namun, masih banyak yang beranggapan bahwa pemerintah hanya memiliki kepentingan politis dalam memperjuangkan sektor UKM.

Sebenarnya pemerintah DKI Jakarta telah memiliki aturan yang jelas mengenai bagaimana melindungi pasar tradisional dari persaingan yang tidak seimbang dengan pasar modern. Hal ini tertuang dalam Peraturan Daerah (perda) Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tanggal 18 Maret 2002 tentang Perpasaran Swasta di Provinsi DKI.

Perda tersebut sebenarnya telah mengatur mekanisme harga untuk melindungi pedagang tradisional. Pada pasal 9 misalnya dikatakan "harga jual barang-barang sejenis yang dijual tidak boleh jauh lebih rendah dengan yang ada di warung dan toko sekitarnya".

Masih dipasal 9. Untuk usaha perkulakan (grosir) secara jelas dikatakan bahwa usaha grosir tidak boleh menjual langsung ke konsumen, "kegiatan penjualan dilakukan dalam ukuran partai besar atau dalam jumlah tertentu seperti dalam bentuk lusinan, kodian, grosiran, dan takaran/ timbangan yang tidak dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir tetapi dalam bentuk keanggotaan (member)".

Selain masalah harga perda juga telah mengatur mengenai bagaimana pasar modern harus menjual produknya sehingga tidak mematikan pasar tradisional. Pada pasal 16 misalnya dikatakan "setiap penyelenggaraan usaha perpasaran swasta skala besar dan usaha perpasaran swasta skala menengah yang melakukan kegiatan usahanya secara grosiran dilarang: (a) melakukan kegiatan usahanya sebagai pedagang pengecer; (b) menjual komoditi secara langsung kepada konsumen akhir".

Aturan-aturan di atas jelas menunjukkan keberpihakan pada pedagang kecil dan pasar tradisional masih ada. Namun, persoalannya sampai saat ini aturan tersebut tidak mampu dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah daerah. Pemerintah provinsi DKI Jakarta seperti tak berdaya ketika berhadapan dengan pengusaha-pengusaha besar.

Alih-alih melaksanakan aturan yang ada saat ini Pemprov DKI Jakarta justru ingin merevisi perda. Menurut Asisten Perekonomian dan Administrasi Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Mara Oloan Siregar, nantinya perda yang baru akan menggantikan perda No 2 tahun 2002 (detik.com, 13/2/2009).

Sesungguhnya revisi peraturan menjadi tidak berarti jika pemerintah tidak memiliki komitmen kuat untuk merealisasikannya. Semoga Pemprov DKI yang saat ini tengah dipimpin oleh "ahlinya" benar-benar mengerti bagaimana harus melindungi pasar-pasar tradisional. Bukan sebaliknya malah terlibat dalam matinya pasar tradisional.


http://www.apeksi.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=226&Itemid=75

Pasar Tradisional Belum Normal

SIDOARJO, KOMPAS.com — Kondisi pasar tradisional di wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pada H+6 Lebaran, Selasa (6/9/2011), belum begitu normal. Sebagian pedagang belum aktif, sementara pasokan barang juga belum optimal.
Seperti di Pasar Larangan, yang merupakan pasar terbesar di Sidoarjo, sebagian kios pedagang masih tutup. Gang-gang yang biasanya dijubeli pedagang juga masih  longgar. Menurut pedagang, sebagian besar pedagang yang mudik ke Madura baru akan kembali setelah kupatan (Lebaran ketupat) yang jatuh pada H+7 Lebaran.
”Mungkin mulai Kamis mendatang mereka kembali berjualan,” kata Ny Ruwiyati, pedagang kebutuhan pokok.
Hal serupa juga terjadi di Pasar Kauman, di belakang Matahari, pusat kota Sidoarjo. Pasar yang biasanya selalu padat itu agak longgar. Bukan hanya pedagang yang belum aktif, karyawan toko pun banyak yang molor liburnya, seperti di toko sepeda di Jalan Raden Patah.
”Dua orang karyawan saya liburnya molor. Jadi, kami belum bisa melayani perbaikan sepeda,” kata pemilik toko.
Pasokan barang, seperti sayur mayur, kedelai, telur, dan kebutuhan rumah tangga lain belum normal. Diduga petani pemasok juga masih sibuk menyiapkan kupatan. Para sopir angkutan barang juga masih menuntaskan acara Lebaran mereka.

http://regional.kompas.com/read/2011/09/06/11261587/Pasar.Tradisional.Belum.Normal

Beringharjo, Pasar Tradisional Terlengkap di Yogyakarta

Pasar Beringharjo menjadi sebuah bagian dari Malioboro yang sayang untuk dilewatkan. Bagaimana tidak, pasar ini telah menjadi pusat kegiatan ekonomi selama ratusan tahun dan keberadaannya mempunyai makna filosofis. Pasar yang telah berkali-kali dipugar ini melambangkan satu tahapan kehidupan manusia yang masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan ekonominya. Selain itu, Beringharjo juga merupakan salah satu pilar 'Catur Tunggal' (terdiri dari Kraton, Alun-Alun Utara, Kraton, dan Pasar Beringharjo) yang melambangkan fungsi ekonomi.
Wilayah Pasar Beringharjo mulanya merupakan hutan beringin. Tak lama setelah berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tepatnya tahun 1758, wilayah pasar ini dijadikan tempat transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya. Ratusan tahun kemudian, pada tahun 1925, barulah tempat transaksi ekonomi ini memiliki sebuah bangunan permanen. Nama 'Beringharjo' sendiri diberikan oleh Hamengku Buwono IX, artinya wilayah yang semula pohon beringin (bering) diharapkan dapat memberikan kesejahteraan (harjo). Kini, para wisatawan memaknai pasar ini sebagai tempat belanja yang menyenangkan.
Bagian depan dan belakang bangunan pasar sebelah barat merupakan tempat yang tepat untuk memanjakan lidah dengan jajanan pasar. Di sebelah utara bagian depan, dapat dijumpai brem bulat dengan tekstur lebih lembut dari brem Madiun dan krasikan (semacam dodol dari tepung beras, gula jawa, dan hancuran wijen). Di sebelah selatan, dapat ditemui bakpia isi kacang hijau yang biasa dijual masih hangat dan kue basah seperti hung kwe dan nagasari. Sementara bagian belakang umumnya menjual panganan yang tahan lama seperti ting-ting yang terbuat dari karamel yang dicampur kacang.
Bila hendak membeli batik, Beringharjo adalah tempat terbaik karena koleksi batiknya lengkap. Mulai batik kain maupun sudah jadi pakaian, bahan katun hingga sutra, dan harga puluhan ribu sampai hampir sejuta tersedia di pasar ini. Koleksi batik kain dijumpai di los pasar bagian barat sebelah utara. Sementara koleksi pakaian batik dijumpai hampir di seluruh pasar bagian barat. Selain pakaian batik, los pasar bagian barat juga menawarkan baju surjan, blangkon, dan sarung tenun maupun batik. Sandal dan tas yang dijual dengan harga miring dapat dijumpai di sekitar eskalator pasar bagian barat.
Berjalan ke lantai dua pasar bagian timur, jangan heran bila mencium aroma jejamuan. Tempat itu merupakan pusat penjualan bahan dasar jamu Jawa dan rempah-rempah. Bahan jamu yang dijual misalnya kunyit yang biasa dipakai untuk membuat kunyit asam dan temulawak yang dipakai untuk membuat jamu terkenal sangat pahit. Rempah-rempah yang ditawarkan adalah jahe (biasa diolah menjadi minuman ronde ataupun hanya dibakar, direbus dan dicampur gula batu) dan kayu (dipakai untuk memperkaya citarasa minuman seperti wedang jahe, kopi, teh dan kadang digunakan sebagai pengganti bubuk coklat pada cappucino).
Pasar ini juga tempat yang tepat untuk berburu barang antik. Sentra penjualan barang antik terdapat di lantai 3 pasar bagian timur. Di tempat itu, anda bisa mendapati mesin ketik tua, helm buatan tahun 60-an yang bagian depannya memiliki mika sebatas hidung dan sebagainya. Di lantai itu pula, anda dapat memburu barang bekas berkualitas bila mau. Berbagai macam barang bekas impor seperti sepatu, tas, bahkan pakaian dijual dengan harga yang jauh lebih murah daripada harga aslinya dengan kualitas yang masih baik. Tentu butuh kejelian dalam memilih.
Puas berkeliling di bagian dalam pasar, tiba saatnya untuk menjelajahi daerah sekitar pasar dengan tawarannya yang tak kalah menarik. Kawasan Lor Pasar yang dahulu dikenal dengan Kampung Pecinan adalah wilayah yang paling terkenal. Anda bisa mencari kaset-kaset oldies dari musisi tahun 50-an yang jarang ditemui di tempat lain dengan harga paling mahal Rp 50.000,00. Selain itu, terdapat juga kerajinan logam berupa patung Budha dalam berbagai posisi seharga Rp 250.000,00. Bagi pengoleksi uang lama, tempat ini juga menjual uang lama dari berbagai negara, bahkan yang digunakan tahun 30-an.
Jika haus, meminum es cendol khas Yogyakarta adalah adalah pilihan jitu. Es cendol Yogyakarta memiliki citarasa yang lebih kaya dari es cendol Banjarnegara dan Bandung. Isinya tidak hanya cendol, tetapi juga cam cau (semacam agar-agar yang terbuat dari daun cam cau) dan cendol putih yang terbuat dari tepung beras. Minuman lain yang tersedia adalah es kelapa muda dengan sirup gula jawa dan jamu seperti kunyit asam dan beras kencur. Harga minuman pun tak mahal, hanya sekitar Rp. 1000 sampai Rp. 2000.
Meski pasar resmi tutup pukul 17.00 WIB, tetapi dinamika pedagang tidak berhenti pada jam itu. Bagian depan pasar masih menawarkan berbagai macam panganan khas. Martabak dengan berbagai isinya, terang bulan yang legit bercampur coklat dan kacang, serta klepon isi gula jawa yang lezat bisa dibeli setiap sorenya. Sekitar pukul 18.00 WIB hingga lewat tengah malam, biasanya terdapat penjual gudeg di depan pasar yang juga menawarkan kikil dan varian oseng-oseng. Sambil makan, anda bisa mendengarkan musik tradisional Jawa yang diputar atau bercakap dengan penjual yang biasanya menyapa dengan akrab. Lengkap sudah.

http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/market/beringharjo/

Pasar Tradisional di Tengah Kepungan Pasar Modern

Sekitar dua dekade lampau jumlah supermarket atau hypermarket maupun mini market di negeri ini masih bisa dihitung dengan jari. Di Bandung saja seingat saya keberadaan pasar modern waktu itu masih sangat jarang. Kalau pun ada paling satu dua, itupun hanya di pusat kota. Coba Anda bandingkan dengan sekarang. Bagi Anda yang tinggal di perkotaan, tak jauh dari pemukiman kita pasti ada minimarket. Jumlahnya juga mungkin lebih dari satu. Jika akan berbelanja dalam skala besar, sebagian orang kini lebih cenderung mendatangi hypermarket ataupun pusat grosir. Selain tempatnya lebih nyaman, harganya bersaing, jenis barangnya pun sangat beragam.
pasar1.jpg
“Tawar menawar penjual dan pembeli di los ikan pasar tradisional (indrakh)”
Kehadiran pasar modern yang memberikan banyak kenyamanan membuat sebagian orang enggan untuk berbelanja ke pasar tradisional. Berbagai alasan mungkin akan dilontarkan orang jika ditanya:” Mengapa tidak memilih pasar tradisional?.” Dari mulai kondisi pasar yang becek dan bau, malas tawar menawar, faktor keamanan (copet, dsb), resiko pengurangan timbangan pada barang yang dibeli, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya. Padahal pasar tradisional juga masih memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki pasar modern. Diantaranya adalah masih adanya kontak sosial saat tawar menawar antara pedagang dan pembeli. Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok.
Bagaimanapun juga pasar tradisional lebih menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan. Di sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang becak.
Sudah banyak kios di pasar tradisional yang harus tutup karena sulit bersaing dengan pasar modern. Data dari Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI) pada tahun 2005 seperti dikutip website Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan, bahwa sekitar 400 toko di pasar tradisional harus tutup usaha setiap tahunnya. Jumlah ini kemungkinan akan terus bertambah seiring kehadiran pasar modern yang kian marak. Kondisi semacam ini tentu sungguh memprihatinkan. Semoga saja pengalaman kota Bangkok, Thailand yang awalnya memiliki puluhan pasar tradisional, namun kini hanya tersisa dua pasar karena terdesak oleh kehadiran puluhan hypermarket tidak terjadi di Indonesia.
pasar2.jpg
“Salah satu sudut pasar Bambu Kuning, Lampung (indrakh)”
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan keberadaaan pasar modern. Sudah menjadi sifat konsumen dimana akan lebih senang memilih tempat yang lebih nyaman, barang lebih lengkap dan harga lebih murah, di mana hal tersebut bisa diakomodasi pasar modern.
***
Kunci solusi sebenarnya ada di tangan pemerintah. Harus ada aturan tata ruang yang tegas yang mengatur penempatan pasar tradisional dan pasar modern. Misalnya tentang berapa jumlah hypermarket yang boleh ada untuk setiap wilayah di satu kota. Lalu berapa jarak yang diperbolehkan dari pasar tradisional jika pengusaha ingin membangun supermarket. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman kebangkrutan pada pasar tradisional akibat kepungan pasar modern yang tidak terkendali, dan memberikan wahana persaingan yang sehat antara keduanya.
Hal lain yang mungkin perlu dilakukan adalah merubah “wajah” pasar tradisional agar bisa lebih nyaman dan teratur. Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya sering lebih sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagangnya sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional

http://indrakh.wordpress.com/2007/09/03/pasar-tradisional-di-tengah-kepungan-pasar-modern/.