TEMPO Interaktif, Bekasi--Pedagang pasar tradisional di Kota Bekasi, Jawa Barat, menolak rencana pemerintah daerah melakukan swastanisasi pasar dengan alasan kumuh.
Berita terkait
<a href='http://openx2.tempointeraktif.com/www/delivery/ck.php?n=a6f00733&cb=' target='_blank'><img src='http://openx2.tempointeraktif.com/www/delivery/avw.php?zoneid=400&cb=&n=a6f00733' border='0' alt='' /></a>
Lapak yang dia tempati berjualan seperti sudah menjadi miliknya sendiri. Sukini mengaku hanya membayar retribusi harian Rp 5 ribu per pedagang.
Meski tidak sebagus pasar modern, ayam dagangannya tetap ramai dibeli orang. "Sehari bisa terjual 50 ekor ayam dengan harga Rp 25 ribu per ekor," katanya.
Pelaksana tugas Dinas Perekonomian Rakyat Abudin HR. mengatakan swastanisasi pasar sulit karena sejumlah pedagang masih memiliki hak guna pakai bangunan. "Seperti di pasar Jatiasih, ada yang memiliki hak hingga 2017 mendatang," kata Abudin kepada wartawan, Kamis 26 Mei 2011.
Selain pasar Jatiasih, pasar tradisional yang masuk klasifikasi kumuh adalah pasar Bantargebang, Kranji, dan pasar Bintara, Bekasi Barat.
Kumuh dalam penilaian pemerintah daerah, banyak sampah berceceran di dalam pasar, tergenang air, dan bangunan tempat berjualan banyak yang rusak atau tidak layak pakai.
Selain itu, pasar tersebut tidak memiliki tempat bongkar muat khusus barang dagangan.
Menurut Abudin, pasar tersebut harus diberikan kepada swasta jika ingin pengelolaannya lebih baik. Seperti empat pasar yang telah diswastakan, di antaranya, Pasar Telukbuyung, Pertokoan Kranji, pasar Kranggan, dan Atrium Pondok Gede. Adapun dua pasar sedang dalam proses, yaitu, Pasar Baru, dan pertokoan Bekasi atau Bekasi Junction
http://www.tempo.co/hg/tata_kota/2011/05/26/brk,20110526-336950,id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar