Senin, 12 September 2011

Pemerintah Daerah dan Pasar Tradisional

Jakarta - Di hampir setiap sudut Kota Jakarta kini sudah berdiri mal, plaza, atau pusat belanja (trade center). Orang menyebut dengan istilah hypermarket.

Seperti juga pembangunan jalan kehadiran pusat-pusat belanja kelas mewah seperti itu pun juga senantiasa bersifat insentif.
Dalam arti kehadiran mal dan hypermarket akan mendorong meningkatnya aktivitas ekonomi publik.

Pada satu bagian ada kelompok yang secara aktif memanfaatkan fasilitas mal untuk kegiatan ekonomi. Sementara pada bagian lain juga mendorong supply and demand menguatnya gejala konsumerisme masyarakat. Ada proses tawar menawar di dalamnya sehingga hukum mencapai keseimbangannya.

Dari sisi kepentingan ekonomi kian menjamurnya mal dan hypermarket mendorong terciptanya peluang bekerja bagi banyak orang. Mulai dari jasa tenaga satuan pengamanan, penjaga toko, pengantar barang, cleaning service, hingga jasa transportasi. Ini berarti sejumlah penganggur bisa terentaskan dari keterpurukan nasibnya. Dengan kata lain kehadiran mal dan hypermarket memberi sejumlah manfaat.

Persoalannya kegiatan ekonomi selalu saja memiliki dampak positif dan negatif. Dalam konteks inilah kehadiran mal-mal di Jakarta sering kali mengundang reaksi negatif dari sejumlah kalangan. Beberapa hal yang kerap kali terungkap dalam nada protes masyarakat adalah kekhawatiran akan tergusurnya kegiatan ekonomi rakyat yang bergerak di pasar-pasar tradisional maupun ritel berskala kecil.

Yang dianggap sebagai ancaman bukan hanya pedagang grosir, supermarket, atau pun hypermarket. Melainkan juga minimarket yang dikelola oleh pengusaha besar. Konglomerasi ritel yang bermunculan di kawasan permukiman di Jakarta dinilai telah menghancurkan warung-warung atau toko-toko tradisional yang menjadi tumpuan hidup pedagang kecil. Banyak pedagang kecil mengeluh usaha mereka tutup atau omzet turun secara signifikan setelah muncul minimarket yang dimiliki pemodal besar.

Berita detik.com (Sabtu, 14/03/2009) berjudul "Pasar Tradisional Kian Susah Saingi Pasar Moderen" menguatkan hal tersebut. Menurut berita tersebut pasar-pasar tradisional mulai ditinggalkan para pembelinya yang mulai bergeser ke pasar modern karena harga di pasar modern yang lebih murah dibanding harga di pasar tradisional.

Larinya konsumen dari pasar tradisional ke pasar modern sebenarnya telah terjadi sejak lama. Pada bulan Mei 2004 misalnya. Beberapa media massa di Ibu Kota menulis "Tujuh Pasar Tradisional Ditutup". Alasan penutupan ini menurut pengelola PD Pasar Jaya adalah untuk efisiensi. Karena, pasar-pasar tersebut telah kehilangan pembeli.

Dengan ditutupnya beberapa pasar tradisional di Jakarta dianggap telah menyebabkan para pedagang kecil makin termarjinalkan. Para pengamat menilai bahwa para pedagang kecil makin sulit berlabuh. Kalah oleh kompetisi dagang yang kian lama kian ketat.

Nasib mereka serupa dengan para pedagang kaki lima yang tampak terengah-engah meraup rezeki di Jakarta. Jadilah Ibu Kota mewujud dalam bentuknya yang tidak manusiawi dan tidak ramah untuk orang kecil.

Selanjutnya kecaman yang sering muncul adalah anggapan bahwa kebijakan pemerintah daerah tidak "pro rakyat". Banyak pedagang dan pengusaha kecil mengeluhkan hal serupa. Meskipun pemerintah daerah mungkin telah berusaha menjaga dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan usaha kecil dan menengah (UKM). Namun, masih banyak yang beranggapan bahwa pemerintah hanya memiliki kepentingan politis dalam memperjuangkan sektor UKM.

Sebenarnya pemerintah DKI Jakarta telah memiliki aturan yang jelas mengenai bagaimana melindungi pasar tradisional dari persaingan yang tidak seimbang dengan pasar modern. Hal ini tertuang dalam Peraturan Daerah (perda) Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tanggal 18 Maret 2002 tentang Perpasaran Swasta di Provinsi DKI.

Perda tersebut sebenarnya telah mengatur mekanisme harga untuk melindungi pedagang tradisional. Pada pasal 9 misalnya dikatakan "harga jual barang-barang sejenis yang dijual tidak boleh jauh lebih rendah dengan yang ada di warung dan toko sekitarnya".

Masih dipasal 9. Untuk usaha perkulakan (grosir) secara jelas dikatakan bahwa usaha grosir tidak boleh menjual langsung ke konsumen, "kegiatan penjualan dilakukan dalam ukuran partai besar atau dalam jumlah tertentu seperti dalam bentuk lusinan, kodian, grosiran, dan takaran/ timbangan yang tidak dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir tetapi dalam bentuk keanggotaan (member)".

Selain masalah harga perda juga telah mengatur mengenai bagaimana pasar modern harus menjual produknya sehingga tidak mematikan pasar tradisional. Pada pasal 16 misalnya dikatakan "setiap penyelenggaraan usaha perpasaran swasta skala besar dan usaha perpasaran swasta skala menengah yang melakukan kegiatan usahanya secara grosiran dilarang: (a) melakukan kegiatan usahanya sebagai pedagang pengecer; (b) menjual komoditi secara langsung kepada konsumen akhir".

Aturan-aturan di atas jelas menunjukkan keberpihakan pada pedagang kecil dan pasar tradisional masih ada. Namun, persoalannya sampai saat ini aturan tersebut tidak mampu dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah daerah. Pemerintah provinsi DKI Jakarta seperti tak berdaya ketika berhadapan dengan pengusaha-pengusaha besar.

Alih-alih melaksanakan aturan yang ada saat ini Pemprov DKI Jakarta justru ingin merevisi perda. Menurut Asisten Perekonomian dan Administrasi Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Mara Oloan Siregar, nantinya perda yang baru akan menggantikan perda No 2 tahun 2002 (detik.com, 13/2/2009).

Sesungguhnya revisi peraturan menjadi tidak berarti jika pemerintah tidak memiliki komitmen kuat untuk merealisasikannya. Semoga Pemprov DKI yang saat ini tengah dipimpin oleh "ahlinya" benar-benar mengerti bagaimana harus melindungi pasar-pasar tradisional. Bukan sebaliknya malah terlibat dalam matinya pasar tradisional.


http://www.apeksi.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=226&Itemid=75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar